Abstrak
APLIKASI DAN
IMPLIKASI DOA DALAM PERSPEKTIF SALIC
(Spiritual Active Learning for
Intelligency Cosmic)
Cipto
Utomo*) dan Rt Anggraini**)
Berdoa merupakan kebutuhan utama
untuk menjawab tantangan dan persoalan hidup, menenangkan jiwa, meningkatkan kekuatan,
harapan serta optimisme. Berbagai upaya ditempuh individu dengan satu tujuan
tunggal yaitu terkabulkannya doa tersebut. Dinamika kehidupan yang kompleks
sering mendorong manusia mencari jalan
yang dipercaya dapat mendekatkannya pada tujuan usahanya atau setidaknya
memberikan jaminan yang lebih pasti dengan cara berimprovisasi sesuai dengan
kadar wawasan dan pengalaman hidupnya atau dengan cara meyusuri jalan yang
telah dirintis oleh orang lain. Keyakinan bahwa Allah SWT adalah Rabb Yang Maha
Dekat lagi Maha Mendengar serta Mengabulkan doa hamba-Nya, menjadi landasan
legitimasi dalam kebebasan berekspresi untuk menyatakan hasrat dan harapan
dalam untaian kalimat doa (bahkan juga pada penggunaan bahasa dan “ritual”
doa). Meskipun Allah SWT telah menghimpunkan kalimat-kalimat doa di dalam Al
Qur'an serta Rasulullah SAW juga telah memberikan banyak contoh kalimat serta
tata cara berdoa (doa ma’tsurat), kreasi doa dalam berbagai kalimat, bahasa dan
ritual tetap selalu muncul dari masa ke masa. Kajian ini dengan perspekstif SALIC (Spiritual Active Learning for
Intelligency Cosmic) -sebuah pendekatan holistik terhadap nilai-nilai pragmatis
aplikatif dalam spiritualitas Islam-, mencoba menjawab pertanyaan mengapa pada
situasi yang sama tidak semua orang menggunakan bahasa atau kalimat yang sama
dalam berdoa? Atau mengapa doa dengan bahasa dan kalimat yang sama memberikan
efek berbeda, dan mengapa doa dapat bersifat teraputik, dan bahkan dapat
menjadi alat perilaku agresi ?.
Apapun media bahasa atau kalimat serta
tata caranya, doa diyakini memiliki energi untuk mengubah keadaan atau
mewujudkan harapan atas kehendak dan perkenan Allah SWT. Kekuatan tersebut bisa
berasal dari sisi “tekstual” dan “kontekstual” doa, potensi psikospiritual
individu serta situasi-kondisi obyektif. Kontekstual meliputi latar belakang
situasional yang melandasi niat
sehingga menjadi struktur pembangun mindset,
pilihan doa atau formulasi kalimat doa, hingga afirmasi (pe-lafadz-an doa). Afirmasi yang di dalamnya terkandung
harapan (hope) dapat berupa obsesional dan
harapan yang sifatnya teraputik.
Ketika motion, emotion dan imagery telah
terhimpun dalam satu “paket” perilaku doa maka penyempurnanya adalah pemunculan
dzon (prasangka) terhadap Allah SWT.
Prasangka inilah yang akan memberikan implikasi doa. Hal ini menjelaskan
penyebab setiap individu memiliki doanya sendiri dan ketika mereka menggunakan
doa yang sama ternyata hasilnya juga tidak selalu sama.
Kata kunci: aplikasi-implikasi, doa,
perspectif Salic
*)
Master trainer Graha SALIC, MQ, Indomatrix
**)
Mahasiswa program doktoral Fakultas Psikologi UGM
(Spiritual Active Learning for Intelligency Cosmic)
Oleh:
Cipto Utomo dan Rt Anggraini
Doa
Doa (prayer)
berasal dari kata latin precarius (yang diperoleh dengan mengemis), dan precari
(memohon, meminta dengan sangat ). Individu yang berdoa, adalah pertanda
yakinnya seseorang atas kehadiran Allah SWT dalam setiap ayunan langkah serta
desah nafas kehidupannya. Ketika seseorang mengangkat kedua tangannya, lalu
terlafadzkan dari lesannya asma Allah, hakekatnya adalah sebuah penegasan dalam
diri bahwa Dia benar-benar ada dan dirinya ingin meng-ada bersama-Nya. Doa
adalah ungkapan kerinduan seorang hamba kepada Khaliknya. Doa adalah bahasa
nurani ketika segala perasaan tidak lagi bisa terbendung oleh dinding
keangkuhan dan keakuan, merupakan proposal hati untuk mengantarkan segala
permohonan. Doa adalah simbol optimisme akan harapan masa depan dan merupakan
lambang manusiawinya manusia yang butuh campur tangan-Nya Yang Maha Perkasa dan
manusia percaya kepada janjiNYA. Toto Tasmara (1999) menegaskan di dalam doa
ada sesuatu yang dituju, yang diharapkan. Sehingga, dalam kandungan optimisme
tersebut manusia menjadi bergairah untuk berbuat dan menyatakan dirinya secara
aktual dan bertanggung jawab di tengah-tengah perjalanannya meniti ombak
samudera kehidupan yang penuh tantangan.
Dan Tuhanmu
berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu (QS Al
Mukmin.40: 60).
Berdoa berarti
memanggil diri sendiri. Jiwa dan kesadaran diseru, dihentakkan agar sadar bahwa
"aku" sedang beraudiensi dengan Tuhanku. Tidak ada sikap yang paling terbuka, transparan
dan telanjang, kecuali saat manusia sedang melaungkan doa, harapan dan munajat
kepada Tuhannya. Begitu dahsyatnya doa yang prihatin sehingga dapat mengubah
takdir (Toto Tasmara, 1999).
Dzat Allah terbebas dari
dimensi ruang dan waktu. Segala bayangan dan khayalan manusia yang dibangun di
atas sendi logika manapun, baik berdasarkan imajinasi maupun referen berupa
pengalaman inderawi tidak akan mampu menyentuhNya. Manusia hanya diperintahkan
untuk mengimani bahwa dengan segala sifat-Nya yang mutlak, Dia senantiasa
hadir, menyaksikan, mendengar, mengetahui serta mengawasi dan menjaganya tanpa
pernah luput sedikitpun. Hubungan
interaktif antara Dia-hamba-Nya tanpa ada jeda antara dan bentang area.
Dzat-Nya tidak untuk dicari, tapi untuk dirasakan. Tidak untuk dikejar, karena
cukuplah bagi manusia untuk kembali dari berpaling hanya kepada-Nya.
Dan apabila hamba-hamba-Ku
bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.
Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku (QS.
Al Baqoroh 2: 186)
Terdapat dua bentuk doa,
yaitu: 1) petisi, meminta untuk dirinya sendiri dan 2) intercesi, memohonkan
untuk orang lain. Dari isinya maka ada yang berupa konfesi (pengakuan, penyesalan,
meminta pengampunan); lamentasi (berseru dalam kesesakan dan meminta
pembalasan); adorasi (penghormatan dan pujian); invokasi (memangil
Tuhan dan berteimakasih, bersyukur) (Dossey, 1987).
Doa adalah energi
psikospiritual yang diaktifkan manusia ketika menginginkan adanya perubahan dari
yang tidak ada menjadi ada dan sebaliknya, menjadi lebih baik atau berubah
sesuai harapan subyektif individu. Implikasinya bisa individual dan bisa juga
massif, menembus berbagai dimensi, tidak
dapat dibatasi oleh ruang, waktu dan tempat. Sekalipun doa bahkan dilakukan
secara individual, subyektif ataupun soliter tapi energinya sangat potensial
berimplikasi tak sekedar pada si individu pelakunya sendiri atau lingkungan
terdekat individu saja. Implikasinya dapat menembus berbagai dimensi atau
bentuk-bentuk dunia yang lain. Inilah
yang harus disadari oleh siapapun yang berdoa. Persoalannya adalah, apakah
individu yang berdoa menyadarinya dan siapkah menerima implikasi tersebut?
Ada semacam tanggung jawab
individual dan sosial ketika seseorang berdoa. Sekalipun tampaknya hanya ada
relasi antara "KAU dan aku", tetapi sesungguhnya tidaklah hanya
sekedar demikian, karena eksistensi aku tidaklah pernah benar-benar hanya aku
tunggal, keberadaan satu aku tidak lepas dari aku-aku yang lain. Menurut
penelitian berdoa dilakukan individu karena memiliki masalah yang menyangkut
hubungan antar manusia sebagai motivator yang paling tinggi, mulai dari
hubungan dalam keluarga, dalam kelompok kecil dan kemudian berlanjut dalam
hubungan yang makin meluas atau jauh (Mahoney, et al., 2003). Menurut Anggraini (2000) masalah yang paling berat
yang menjadi pendorongnya adalah masalah cinta (jatuh cinta maupun putus cinta,
dalam rangka meraih, mendapatkan ataupun kehilangan cinta), kemudian masalah
rejeki material (yang dalam hal inipun dapat diperinci mulai dari kebutuhan
dasar), dilanjutkan dengan kebutuhan sosial yang lebih tinggi. Apabila
diurutkan maka tampak bahwa ada semacam Maslow's hierarchy of need mulai
dari basic need, social need, power need dan actualizaion need dan
yang kemudian disempurnakan dengan spiritual need.
Konsep Holistik dan Perspektif Salic
Konsep holistik memandang
segala sesuatu sebagai saling kait mengkait, saling pengaruh mempengaruhi bagaikan
jejaring, berupa kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan atau disekulerkan.
Konsep holistik dalam memandang manusia sebagai sumber daya insani yang sangat
dipengaruhi kualitasnya oleh kondisi psikologi, sosial-ekonomi, fisik,
dan spiritual-religius bahkan ketika masih dalam gagasan (ide,
cita-cita) orang tua. Kemudian dalam perkembangan kehidupannya Sumber Daya
Insani sangat dipengaruhi faktor mikro dan makrokosmos. Manusia tidak hanya menerima
pengaruh tetapi juga mempengaruhi bahkan menciptakan situasi kondisi, karena pada
dasarnya pada diri setiap insan telah dilengkapi berbagai potensi fitrah dari
Tuhan sebagai bekal tidak hanya untuk menerima stimulasi saja, tetapi juga
untuk menghadapi, menguasai, memimpin dan mengubah lingkungan atau dunianya
(Anggraini 2006).
Insan yang dekat dan sadar
eksistensi Tuhan sebagai NUR (cahaya segala cahaya), dan menyadari
eksistensinya dalam jaringan mikro-makrokosmos yang diperolehnya melalui
belajar yang dimulai dengan perilaku "membaca" secara
konsisten-konsekuen, bermotivasi intrinsik serta selalu berwawasan
vertikal-horisontal dalam seluruh amalan, maka insan tersebut akan memiliki
atau mencapai kecerdasan kosmik, yang pada akhirnya akan memudahkannya untuk
menemukan dan mengurai permasalahan diri dan kehidupan.
Berdasarkan
konsep holistik, maka doa merupakan manifestasi dari diri manusia yang dengan
kecerdasan kosmiknya akan "dapat mengubah takdir". Tidaklah
mengherankan bila pada individu-individu dengan tataran atau tingkatan
psikospiritual tertentu, doa tidak lagi sekedar dimotivasi oleh
kebutuhan-kebutuhan hidup seperti kebanyakan orang, tetapi
motivasi tersebut meluas sedemikian rupa dan bersifat transpersonal.
Sebagai contoh, hal itu semakin tampak jelas di kalangan para sufi yang
menempuh jalan suluk. Mereka juga sering disebut para salik. Menurut Khan
(1981) bagi para salik, doa merupakan cara untuk menjangkau hal-hal yang bagi
individu kebanyakan tidaklah mungkin dicapai (dilakukan). Kesadaran mereka yang
sangat tinggi tentang eksistensi Tuhan menimbulkan keyakinan bahwa segala
sesuatu adalah mungkin, mampu membuka makna-makna dan mencapai tujuan hidupnya.
Dapat diperjelas bahwa melalui
pencarian dan penelusuran jalan menuju makna, yaitu jalan menuju keterhubungan
dengan Sumber Segala Cahaya maka setiap individu potensial akan mencapai suatu
tataran intelligency cosmic. Jalan tersebut tidak sekedar dalam bentuk
keyakinan tetapi berupa amalan-amalan nyata (action) yang bermakna
melalui proses iqro' (observasi,
eksploration, research dengan perilaku open), yang pada akhirnya
memunculkan pemahaman terhadap berbagai fenomena yang tergelar dalam kehidupan
yang dihayatinya sebagai proses learning (pembelajaran).
Doa dalam perspektif SALIC
(Spiritual Active Learning for Intelligency Cosmic) merupakan salah satu
ekspresi untuk membuka jalan dan menjalin keterhubungan (connection)
pada Yang Maha Penghubung sehingga hukum sunnatullah berlaku.
Mendikte Tuhan
Boleh jadi kamu membenci
sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai
sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui (QS. Al
Baqoroh 2: 216).
Dalam konteks
makrokosmos-mirokosmos, hakekatnya antara individu dengan individu dan antara
individu dengan universe terdapat hubungan saling terkait dan terikat dalam hubungan
sebab akibat. Tidaklah satu kejadian maupun peristiwa berdiri sendiri,
melainkan terhubung dengan kejadian dan peristiwa lainnya, baik sebelum maupun
kesudahannya. Allah SWT menciptakan alam semesta dengan prinsip keseimbangan
yang sempurna (mizan, balance-harmony, keseimbangan sibernatik Q.S. 55:7),
dan terus dijaga-Nya hingga masa kehancuran tiba (datangnya hari akhir). Di
atas prinsip keseimbangan inilah skenarioNYA berlaku dan menjalankan takdir-Nya
atas kehidupan yang tengah berlangsung, maka satu pergerakan akan senantiasa
diikuti dengan pergerakan lainnya, satu perubahan akan diikuti perubahan
lainnya (sunnatullah).
Sayangnya,
manusia sering terburu-buru ingin segera mendapatkan hasil, akibatnya tidak
jarang doa menjadi bersifat agresif dan mengekspresikan pemaksaaan kehendak,
seolah sedang mendikte Tuhan. Ketika harapan terwujud, individu mempersepsikannya
sebagai hal terbaik yang seharusnya berlaku atas kehidupannya, sebaliknya
ketika harapannya tidak juga terwujud memunculkan perilaku obsessif dalam
bentuk doa yang intensif, makin panjang dan berulang, atau justru agresif pasif,
"mogok", patah harapan atau bahkan marah padaNYA.
Di samping terburu-buru,
manusia juga sering melupakan eksistensi orang lain yang juga sama-sama punya
hak untuk menaruh harapan kepada Tuhan yang sama, dan alam lingkungannya yang
juga memiliki hak untuk dipertimbangkan dan dijaga keseimbangannya. Tuhan
semesta alam, tentulah jauh (baca: mustahil) dari sifat dzalim dengan
meninggalkan kebijaksaan-Nya dalam mengatur kehidupan. Kasih sayang-Nya
melingkupi semua makhluk, tanpa terkecuali, secara logika dengan tidak
terwujudnya semua harapan manusia justru tidak lain adalah bukti kebijaksanaan
tersebut. Akibat kelengahan ini, ketika implikasi yang diterima individu jauh
dari harapan dapat mengakibatkan degradasi keimanan yaitu tingkat kepercayaan
yang menurun., padahal kepercayaan inilah yang dibutuhkan untuk terkabulnya
sebuah doa.
Mendikte Allah SWT
menunjukkan sifat patologis dalam berelasi denganNYA, merupakan ekspresi keangkuhan
dan kesombongan karena individu telah menganggap dan menempatkan dirinya lebih
tahu dari Dia Yang Maha tahu. Sikap ini akan semakin menjauhkan manusia dariNYA,
bisa berimplikasi pada dibiarkannya manusia terlantar dalam buaian harapan dan
angan-angan kosongnya, bahkan sikap tersebut bisa mengundang murka-Nya. Na'udzu
billah!. Menurut penelitian Issa (2000) individu-individu yang demikian sangat
rentan untuk kecewa, frustrasi, merasa gagal, kesepian yang mencekam, dan
masalah-masalah psikopatologis lainnya .
Variasi Doa Komunikatif
Doa adalah inti peribadatan
baik yang mahdloh dan non mahdloh, maka berdoa dapat dilaksanakan sesuai tata
cara yang telah ditentukan maupun cara yang disesuaikan dengan konteks
kebutuhan. Doa yang baku bersumber dari ayat-ayat Al Quran dan hadits nabi,
sedangkan tata pelaksanaan yang lebih banyak terkait pada aspek waktu dan
konteks persoalan serta tujuan berdoa bervariasi sesuai kebutuhan dan dengan
harapan mendapatkan manfaat (fadhilah) doa sebagaimana yang telah banyak
diriwayatkan dalam kajian tafsir maupun asbabul wurud (konteks turunnya
hadits).
Bagi penutur yang menguasai bahasa
Arab, pemaknaan terhadap ayat-ayat al Qur'an maupun al ma'tsurat tidaklah
menjadi kendala berarti, namun bagi non penutur lesan atau yang belum menguasai
bahasa arab, pemaknaannya bisa jadi berkurang, bahkan bisa berbeda hingga
keluar dari konteks doa. Individu seperti ini membutuhkan bantuan bahasa yang
lebih mudah dimengerti dan umumnya mereka akan menggunakan bahasa ibu atau menyusun
sendiri lafadz doa sesuai kebutuhan. Individu yang menguasai bahasa Arab-pun
terkadang memilih untuk mengungkapkan doanya dengan lafadz yang bervariasi.
Bagi Allah SWT, lafadz doa sebagai
media komunikasi yang variatif tidaklah menjadi masalah, karena Allah SWT Maha
Mengetahui semua bahasa makhluk bahkan ketika individu diam atau hanya bersitan
dalam hati. Dalam hal ini individu memiliki kebebasan mengekspresikan
harapannya.
Dalam banyak hal, doa benar-benar sangat
subyektif, merupakan suara batin yang hanya dimengerti dan dipahami individu sendiri.
Di dalam doa manusia merdeka untuk berbicara, bebas mengungkapkan suara hatinya
tanpa merasa terbelenggu oleh apapun, tidak perlu gagap dan gamang.
mengungkapkan perasaannya dengan optimisme yang luar biasa terhadap Allah.
Bahkan Rasulullah membimbing semua manusia agar di dalam berdoa tidak
dibenarkan ada semacam "reserve", baik bahasa atau ungkapan yang sangsi.
Sabda
rasul SAW: "berdoalah kepada Allah dan kamu harus berkeyakinan, maka pasti
dikabulkan. Ketahuilah bahwa Allah tidak akan mengabulkan doa dari hati yang
lalai (HR Turmudzi)" (Toto Tasmara, 1999).
Aplikasi Doa
Hal paling prinsip dalam
berdoa adalah tertatanya niat dan terkonsentrasinya harapan dan tujuan yang
dialamatkan hanya kepada Allah SWT, menembus dunia ragawi menuju dunia gaib,
membumbungkan harapannya dari kaki langit menembus 'Arsy (kerajaan Tuhan).
Pentingnya fokus dan konsentrasi dalam hal ini supaya manusia terhindarkan dari
terbelokkannya doa pada hal-hal yang berunsur syirik, hingga merasa masih
membutuhkan bantuan dari yang lain akibat lemahnya keyakinan akan kekuasaan
Allah SWT.
Banyak hal yang
melatarbelakangi seseorang berdoa. Latar belakang yang berbeda ini melahirkan
niat yang berbeda pula. Namun apapun niatnya, harapan yang diusung adalah
terkabulkannya hajat yang diniatkan tersebut. Secara berurutan, inilah proses
ideal yang menuntun seseorang pada pencapaian harapan melalui do'a:
a. Latar
situasi
Terdapat perbedaan individual dalam persoalan, latar
situasi, dan tingkat kebutuhan problem solving manusia. Setiap kurun masa
memiliki tantangan hidup yang berbeda. Setiap orang memiliki resistensi yang
berbeda pula, di samping beragamnya alternative yang ditawarkan menambah
kompleksitas tersendiri. Dalam konteks ini, berdoa bisa diposisikan sebagai
alternatif solusi atau menjadi solusi
utama yang sangat berpengaruh pada kuat tidaknya niat.
b. Niat
Praktek-praktek
keagamaan mengajarkan untuk menyambungkan diri dengan bagian diri yang terdalam,
maka dapat dikatakan bahwa “Niat” yang meliputi
motivasi dan kehendak mempunyai kaitan yang erat dengan masalah emosi. Perasaan menentukan tindakan dan sebaliknya,
perilaku sering kali menentukan bagaimana perasaan individu (Zohar, 2000). Sekalipun
“niat” tidak harus selalu diucapkan karena lebih merupakan suatu aktivitas
batiniah, tapi niat bermakna sentral dalam segala perbuatan. Niat sebagai “al
qasdu” (kehendak) dalam psikologi mencakup pengertian motivation dan
goal. Motivasi merupakan alasan berbuat, sedangkan tujuan menyangkut
kehendak yang ingin dicapai (Anggraini, 2001). Dengan panjang lebar motive
(motif) diterangkan dalam kamus psikologi sebagai 1) satu keadaan ketegangan di
dalam individu, yang membangkitkan, memelihara dan mengarahkan tingkah laku
menuju pada satu tujuan atau sasaran. 2) alasan yang disadari, yang diberikan
individu bagi tingkah lakunya. 3) satu alasan tidak disadari bagi satu tingkah
laku (unconscious motivation). 4 ) satu dorongan (drive), perangsang,
rangsangan, Istilah drive terutama sekali di pakai menyangkut motif-motif
primer , untuk mana basis jasmaniahnya telah diketahui. 5) satu set atau sikap
yang menuntun tingkah laku (Chaplin, 1999). Motif psikologis terutama
dipengaruhi oleh tipe masyarakat dimana seseorang dibesarkan, lingkungan dimana
dia hidup, pengalaman hidup dan informasi apakah yang masuk dalam dirinya.
Sabda
Nabi SAW: "Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat". Hal ini menjelaskan
salah satu dari dua pilar dasar setiap amal, yaitu ikhlas dalam beramal dan
jujur dalam batinnya sehingga yang selain Allah tidak meretas ke dalamnya.
c. Mindset
Permasalahan yang dirasa
dapat terselesaikan lewat media doa yang menimpa seseorang atau suatu kaum bisa
jadi pernah menimpa orang lain atau kaum sebelumnya. Hal ini bisa disimak
melalui kisah-kisah dalam kitab suci, kumpulan hadits atau kumpulan kisah para
ulama terdahulu. Ketika dirasa kejadiannya mirip atau bahkan sama (meskipun
dengan kadar dan konteks yang berbeda), maka terjadilah proses imitasi doa,
kreasi dan variasi. Kemiripan sebuah kejadian tidak mungkin sampai 100 persen
untuk itu, yang diperlukan hanyalah menimbang kadar kemiripan pada kejadian
yang dijadikan pembanding, yang paling dominan lantas dijadikan rujukan
formulasi lafadz doa yang lebih kompleks. Berikutnya, pikiran dibingkai dengan
satu keyakinan bahwa doa yang akan dipanjatkan adalah sebuah solusi, bukan
sekedar aktivitas lesan, tetapi merupakan aktivitas sadar yang melibatkan: hati
atau perasaan, motorik, seluruh indra dan alam lingkungan internal maupun
eksternal. Jadi doa bukan sekedar kata-kata yang disusun dengan sedemikian
indah seperti syair dan bukan semata-mata urusan kognisi dan perasaan saja (Gunawan,
http://www.pembelajar.com)
d.
Formulasi
Seseorang akan menggunakan doa yang sama atau yang
telah diformulasikan dengan satu harapan permasalahannya akan teratasi
sebagaimana orang lain atau kaum terdahulu yang telah terbantu oleh doa
tersebut. Sampai di sini, lahirlah kompilasi doa baik yang dilaksanakan secara
individual maupun berkelompok (jamaah). Berdasarkan penelitian Ikemi (dalam
Dossey,1997) menyimpulkan formula doa yang tidak meniru, spontan dengan bahasa
hati yang tulus-jujur, dan individu menjadi dirinya sendiri dalam arti
sesungguhnya dengan menghargai pengalaman dari kedalaman jiwa sendiri, sehingga
doa muncul dari pusat jati dirinya, telah terbukti pengaruhnya yang kuat dalam
peristiwa-peristiwa SRC (spontaneous regression of cancer). Bernie
(1999) juga menyatakan doa yang tulus dan pasrah serta spontan akan beraya
sembuh yang tinggi.
Hal tersebut akan sulit dilakukan oleh mereka yang
tidak berkembang kecerdasan kosmiknya, karena kebanyakan individu lebih
tergantung kepada formula orang lain akibat secara sadar maupun tidak, sifat
dependensi kepada subyek atau obyek tertentu lebih besar dari dependensinya
kepada Tuhan itu sendiri.
e. Afirmasi (pelafadzan)
e. Afirmasi (pelafadzan)
Mengapa kita perlu hati-hati dalam memilih kata dalam
doa?
Bagian paling ekspresif dalam berdoa adalah ketika melafadzkannya.
Hal yang ditimbulkan dari afirmasi tidaklah sederhana, lebih-lebih bila yang
melakukannya memiliki tataran kepribadian tertentu dan memiliki energi psikospiritual
yang tinggi dan terasah. Sebagai afirmasi semestinya kata-kata yang dilafadzkan
haruslah hal-hal positif yang dilandasi oleh perasaan atau emosi positif dan
konstruktif. Setiap kata mempunyai kekuatan dalam memprogram pikiran, kalbu,
perilaku dan merubah alam. Gunawan (2007) menyatakan kata yang digunakan dalam
doa, suka atau tidak, sebenarnya adalah afirmasi yang sangat dahsyat efeknya.
Kata yang digunakan, secara sadar atau tidak, menentukan level dan kualitas
berpikir individu (http://www.pembelajar.com).
Diksi, intonasi, irama, volume, dan kuantitas
pengulangan sangat berpengaruh terhadap semakin besarnya kesungguhan dalam
berdoa dan energi yang dimunculkan. Hal ini bermula dari apa yang dipikirkan,
dirasakan, diketahui dan dihayati serta diharapkan, yang kemudian
diverbalisasikan baik secara keras, lembut maupun hanya dalam batin. Perilaku
ini mengandung suatu energi hebat yang bahkan pengaruhnya tidak dapat
dihijab-i, tidak berbatas waktu dan ruang. Energi ini muncul karena apa yang
diekspresikan bermuatan segala hal yang telah dilampaui individu baik secara
sadar maupun tidak sadar, pola-pola perasaan, kebiasaan, dan reaksi-aksi dalam
jumlah yang tidak terhingga sepanjang hidupnya Afirmasi yang menggunakan kata-kata negatif
dan diperkuat dengan emosi negatif akan bermuatan energi negatif yang berdampak
destruktif (Frager, 1999). Doa yang penuh dendam sebagai usaha membalas atau
memaksakan kehendak mengekspresikan ketidak sabaran. Doa demikian dengan ijin
Allah SWT dapat berproses dan menghasilkan sesuai harapan yang melafadzkannya,
berdaya rubah yang besar, menimbulkan ketidak seimbangan baik secara mikro
maupun makro. Namun demikian sejalan dengan Hukum Sebab Akibat atau Hukum Tabur
Tuai, maka apa pun yang ditabur, melalui pikiran, ucapan, dan perbuatan akan
kembali pada individu yang menaburnya. Hal demikian juga merupakan manifestasi derajat insaniah pelakunya,
manifestasi dominasi sisi negatif potensi dan kepribadian individu.
Sebuah afirmasi dari insan
unggul yang memiliki kecerdasan kosmik hasil dari koneksitas dengan Sang Maha
Kuasa (memiliki kesadaran ilahi atau divine consciousness) berkualitas
tinggi, akan dapat mengubah dunia. Lebih-lebih bila
afirmasi tersebut dilakukan secara masal dengan penuh penghayatan dan
kesadaran, sehingga merupakan unjuk rasa kepada Tuhan. Menurut Walters (1987)
afirmasi adalah pernyataan tentang kebenaran yang hendak diserap ke dalam
kehidupan seseorang. Afirmasi yang dilakukan dengan konsentrasi yang mendalam
dan diarahkan ke alam bawah sadar akan menggeser pikiran yang dikendalikan
secara sadar (conscious control).
f.
Motion-Emotion
Situasi lingkungan sosial yang kompleks menyebabkan
kadar keheningan jiwa dan kebeningan batin semakin menurun. Untuk menciptakan
kekhusukan dan konsentrasi dalam berdoa semakin berat tantangannya. Maka
diperlukan mediasi yang mampu membantu pengkondisian jiwa, maka muncullah
beragam ritual doa, mulai dari sekedar memainkan irama suara hingga
gerakan-gerakan fisik (motion) yang melibatkan batin (emotion). Wujud gerakan
fisik bisa berupa gerakan tangan, jari-jari, anggukan atau gelengan kepala,
gerakan rukuk atau sujud, atau bahkan semacam tarian. Wujud gerakan batin
misalnya menangis, meratap, atau bahkan teriakan semangat (Eaton, 2002).
Berdoa adalah pekerjaannya
hati karena yang paling menentukan doa adalah perilaku hati. Hati akan bisa memohon sesuatu, jika paham apa yang terkandung dalam doa-doa yang
dipanjatkan. Kata Rasul: "Ud'ullaaha wa antum muuqinuuna bil ijaabah,
wa'lamuu annallaaha 'azza wajall laa yastajiibu du'aa'an min qalbin ghaafilin"
(Berdoalah kepada Allah seraya mantap apa yang kamu panjatkan itu terkabulkan,
dan ketahuilah bahwa Allah Yang Maha Agung tidak akan mengabulkan doa dari HATI
YANG LUPA). Maksudnya "hati yang lupa" disini tiada lain adalah doa
yang tidak disertai dengan rintihan hati; doa sambil melamun; doa sekedar
hafalan tidak tahu makna kalimat-kalimat yang ia panjatkan; dan semacamnya (Hidayat,
http://www.pesantrenvirtual.com).
g.
Hope
Semangat dalam melakukan afirmasi yang disertai
motion-emotion erat kaitannya dengan hope (harapan) yang hendak dicapai, karena
harapan yang semakin tinggi meningkatkan energi psikospiritual doa. Perlu
dimengerti, saat individu berdoa, batinnya menelusup masuk ke dalam dimensi
gaib, menggetarkan 'arsy Tuhan (hal serupa terjadi ketika dimensi ke-Tuhanan
masuk ke dalam dimensi sanubari manusia yang mampu menggetarkan dinding-dinding
jiwa). Getaran energi inilah yang kemudian mendorong terjadinya gerakan massif
seluruh elemen makrokosmos (universe) dibawah kuasa skenario Tuhan, membentuk
sebuah formasi sebagaimana dikehendaki oleh harapan individu yang sedang
berdoa.
Inilah fase yang sangat signifikan ketika berdoa. Pada
fase ini, elemen makrokosmos akan langsung berhadapan dengan getaran jiwa.
Bahasa yang akan dimanifestasikan adalah bahasa jiwa, bukan lagi bahasa lesan.
Maka apapun bunyi proposal harapan yang terucap oleh lesan, yang akan
di-aminkan oleh universe adalah harapan yang melekat-menyatu di jiwa. Di
sinilah terletak rahasia, mengapa ketika melafadzkan doa yang sama, orang yang
berbeda akan mendapatkan implikasi yang berbeda dari doanya. Hal ini
dikarenakan betapa mudah meng-imitasi lafadz doa orang lain, tapi sangat sulit
untuk juga meng-imitasi harapan yang melekat-menyatu di jiwanya..
h. Imagery
Imagery (penisbatan) membantu hope tervisualkan lebih
jelas dan ini semakin menguatkan afirmasi. Contoh imagery ada dalam kalimat doa
berikut, "ya Allah, sesungguhnya Engkau telah tunjukkan ayat-Mu padaku
dalam kisah rasul-Mu yang telah Kau uji dengan ujian yang mirip denganku. Jika
dengan doa yang sama dengan doa yang kupanjatkan pada-Mu ini Engkau berkenan
mengeluarkannya dari kesulitan, maka keluarkanlah aku dari kesulitan ini".
Tidak jarang ketika berdoa, individu berfikir bahwa
dirinya tengah berhadapan dengan Dzat yang berjarak antara langit dan bumi
dengan dirinya, padahal sebenarnya Dzat yang sedang diajaknya berkomunikasi
adalah Dzat yang tiada berjarak. Individu beranggapan seakan-akan doanya akan
melintasi anak tangga yang bertumpuk-tumpuk hingga tiada kelihatan ujungnya
untuk bisa sampai pada Sang Penerima Doa, padahal Dialah Dzat Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui, bahkan sebelum kata-kata belum terucap dan
masih berupa lintasan fikiran atau gerakan jiwa.
Untuk dapat melakukan imagery, individu harus tahu
persis dengan siapa dia berhadapan. Harus pula tahu, bagaimana sifat-sifatNYA
yang mendorong manusia harus optimis bahwa sebuah doa pasti didengar dan
dikabulkan serta bagaimana proses terkabulnya doa. Ketika pengetahuan ini sudah
menjadi sebuah keyakinan yang kuat, individu akan merasakan sebuah hubungan
yang intim tiada berjarak sehingga ia bebas mengutarakan apa saja, termasuk
menyampaikan hal-hal mendetail terkait harapan yang disampaikan melalui
proposal doanya. Dalam hal seperti inilah salah satu peran kecerdasan kosmik
berpengaruh sangat besar.
i.
Dzon
Allah SWT berfirman dalam sebuah hadits Qudsy yang menyatakan
bahwa "Aku adalah sebagaimana hamba-Ku berprasangka terhadap-Ku..".
Pada tahapan inilah, kepasrahan (tawakkal) diserahkan sepenuhnya kepada Allah
SWT dengan prasangka positif bahwa Dia akan berikan hasil yang terbaik dari
ikhtiar berupa do'a yang telah disempurnakan sebelumnya.
Sikap ideal ketika berdoa atau saat bersiap menerima
implikasi doa, adalah meyakini apa yang diterima sebagai yang terbaik dengan
pasrah. Kepasrahan diwujudkan dalam bentuk kesungguhan ikhtiar dan harapan
hasil terbaik (action toward ultimate achievement) sebagai kewajiban
manusia yang disadari. Adalah hak Allah SWT untuk menciptakan skenario terbaik,
dan manusia yang baik selalu berfikir positif terhadap skenarioNYA.
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah
niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan
urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan
bagi tiap-tiap sesuatu (QS. Ath Thalaaq; 65: 3)
Dzon yang terbangun atas implikasi doa yang diberikan
Tuhan akan senantiasa positif apabila didasari sebuah kerangka berfikir bahwa
tugas hidup manusia di dunia ini memang hanya dua, pertama senantiasa
meluruskan niat dan kedua, menyempurkan ikhtiar. Jika berupaya semaksimal
mungkin, apa yang menjadi keinginan Insya Allah akan terwujud. Namun, bersamaan
dengan kepercayaan diri untuk mengoptimalkan ikhtiar, sebagai manusia juga
harus menyadari beragam keterbatasan yang dimiliki serta memahami hukum
keseimbangan. Kadangkala, terjadi sesuatu di luar jangkauan akal dan pikiran.
Atau malah ada sebuah kondisi dimana seseorang telah mengerahkan seluruh
kemampuan, tapi tidak kunjung berhasil. Saat ini kesadaran sebagai manusia
biasa dengan banyak kekurangan harus dibangkitkan. Tanpa kesadaran ini, hidup
akan dipenuhi rasa galau, gelisah, resah, cemas dan penuh ketidak puasan.
Banyak studi membuktikan bahwa doa secara positif dan
sangat signifikan mempengaruhi perubahan tekanan darah, penyembuhan luka,
serangan jantung, sakit kepala, dan menurunnya kecemasan (Anggraini, 2004:
Dossey, 1987). Subyek penelitian mencakup air, enzim, bakteri, jamur, ragi,
sel-sel darah merah, , sel kanker, sel pemacu, benih, tumbuhan, ganggang, ,
larva, ngengat, tikus, dan anak ayam, dan terbukti pengaruhnya pada waktu yang
diperlukan untuk sadar dari pembiusan, efek otonom elektrodermal kulit, kadar
hemoglobin dan laju hemolisis sel-sel darah merah (Dossey, 1987).
Dengan demikian betapa ruginya jika hidup yang
sekali-kalinya ini dihiasi perasaan negatif, hanya karena sebuah kejadian, atau
peristiwa yang tidak sesuai dengan keinginan. Selama hidup, peristiwa-peristiwa
di luar kehendak manusia pasti akan terjadi lagi, karena manusia memang tidak
berdaya upaya apapun. Dan harus menyadari
seyakin-yakinnya, bahwa Allah SWT mempunyai rencana tersendiri bagi setiap diri
manusia. Menurut Gymnastiar (2007) segala sesuatu yang kemudian terjadi,
bukanlah sebuah masalah, karena itulah keputusan terbaik dari Allah bagi
manusia, hamba yang disayangi-Nya. Sekalipun
bersikeras tidak mau menerima kehendak-Nya, namun bisa jadi memang hal
itu yang terbaik (http://www.cybermq.com)
Implikasi Doa
Hubungan manusia dengan
Tuhannya adalah sebuah hubungan tiada berjarak, tiada terpisah oleh dimensi
ruang dan waktu. Kapanpun dikehendaki, manusia bisa berkomunikasi dengan-Nya.
Demikian pula sebalik-Nya, pesan-pesanNYA yang terangkum dalam kalam maupun
ayat senantiasa tergelar sepanjang masa tiada sedetikpun mengalami jeda. Apapun bahasa manusia, Tuhan memahaminya.
Tetapi sebaliknya, manusia sering tidak memahami bahasa Tuhan yang tengah
berkomunikasi dengannya. Pemahaman bahwa setiap kata pasti terbalas, setiap doa
pasti terjawab adalah benar adanya. Namun karena tidak semua manusia memahami
bahasa Tuhannya, inilah yang menjadi pangkal lahirnya multitafsir terhadap
kejadian yang notabene adalah bahasa komunikasi Tuhan sebagai implikasi doa.
Daun jatuh, pohon tumbang,
air mengalir, awan berarak, malam berselimut dingin, hingga air bah meluap,
bumi terbelah, langit terguncang adalah bahasa Tuhan. Sehat, sakit, sedih,
bahagia, gagal, berhasil, celaka adalah bahasa Tuhan. Ketika Tuhan ingin
menampakkan pelangi, terlebih dahulu menurunkan hujan. Ketika ingin menampakkan
asap, terlebih dahulu Tuhan memberikan api. Inilah hukum sebab akibat yang juga
adalah bahasa Tuhan.
Ketika manusia menengadahkan
tangan, menggetarkan jiwanya sembari melantunkan lafadz doa dengan maksud
menjalin komunikasi dengan Tuhan Yang Gaib, pada saat yang sama idealnya ia
juga harus siap menerima respon balik berupa jawaban dengan menggunakan bahasa
Tuhan. Positif atau negatif penerimaan individu terhadap bahasa Tuhan
tergantung persepsi masing-masing. Yang sunnatullah, akan senantiasa mengiringi
kehidupan ini selamanya dan manusia harus senantiasa siap menerima hukum yang
kekal ini.
Kesiapan atau ketidaksiapan individu menerima
hukum sebab akibat serta sadar atau tidak sadarnya individu mengenai
keterikatan dan keterkaitannya (mikrokosmos) dengan universe (makrokosmos) akan
memberikan dampak bahkan tidak hanya dalam perilaku doa tetapi dalam semua
perilaku karena dampaknya yang bersifat holistik. Hal ini didukung oleh
pernyataan yang sungguh mengembirakan dari AAFP (American Academy of Family
Physicians) (1996) bahwa masalah kesehatan individu, kebahagiaan, keluarga dan
produktifias semestinya tidak didekati secara sekular. Pendekatan holistik yang melibatkan spiritualitas
merupakan pendekatan mutakhir yang paling rasional untuk memahami manusia
secara komprehensif. Berdasarkan
konsep yang sama, Ismail (2003) berpendapat bahwa permasalahan manusia sesungguhnya lima puluh
persen (50 %) adalah masalah spiritualitas-religius, dua puluh persen (20 %)
masalah emosi, dua puluh persen (20 %) masalah mental, dan yang sepuluh persen
(10%) adalah masalah fisikal. Pendapat itu menunjukkan bahwa masalah spiritual
(religius) merupakan faktor yang sangat penting dan dominan di dalam kehidupan.
Kesimpulan
Apapun media bahasa atau
kalimat serta tata caranya, doa diyakini memiliki energi untuk mengubah keadaan
atau mewujudkan harapan atas kehendak dan perkenan Allah SWT. Kekuatan tersebut
bisa berasal dari sisi “tekstual” dan “kontekstual” doa, potensi psikospiritual
individu serta situasi-kondisi obyektif. Kontekstual meliputi latar belakang
situasional yang melandasi niat
sehingga menjadi struktur pembangun mindset,
pilihan doa atau formulasi kalimat doa, hingga afirmasi (pe-lafadz-an doa). Afirmasi yang di dalamnya terkandung
harapan (hope) dapat berupa obsesional
dan harapan yang sifatnya teraputik. Ketika motion, emotion dan imagery telah
terhimpun dalam “paket” perilaku doa maka penyempurnanya adalah pemunculan dzon (prasangka) terhadap Allah SWT.
Prasangka inilah yang akan memberikan implikasi doa. Hal ini menjelaskan
penyebab setiap individu memiliki doanya sendiri dan ketika mereka menggunakan
doa yang sama ternyata hasilnya juga tidak selalu sama.
Kesadaran dan penghayatan
terhadap ungkapan: ...sungguh, tidak ada yang kebetulan dalam perjalanan
kehidupan ini. Semua peristiwa, pertemuan - perpisahan, kelahiran - kematian,
kebangkitan - kejatuhan, .. semua berada dalam bingkai skenario Allah SWT, Dzat
Yang Maha Berkehendak (Qur’anic
Psychocybernetic) merupakan salah satu manifestasi dari kecerdasan
kosmik yang sangat penting didalam perilaku doa, agar perilaku tersebut
berimplikasi positif.
DAFTAR
PUSTAKA
AAFP (American Academy of Family Physicians).1996. Sprituality & Healing in Medicine.
Topline Findings (Oktober, 1996) From Website at www.nihr.org
Anggraini, R. 2001. Psikologi Haji. Semarang: LBMH-KBIH PD Muhammadiyah.
Anggraini. 2002. Catatan Perjalanan Haji-Perjalanan
Cinta untuk yang Tercinta Semarang:
LBMH-KBIH PD Muhammadiyah
Anggraini.
2004. Stres dan Orientasi Motivasi Calon Haji Serta Seni Pernafasan Dengan
Dzikir Dalam Latihan Manasik Haji. Tesis.
Universitas Gadjah Mada. Tidak diterbitkan.
Bernie,
S.S. 1999. Love, Medicine and Miracles.
Lessons Learned About Self Healing from a Surgeon’s Experience with Exceptional
Patiens. Terjemahan:
Hermaya, T. Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama
Chaplin, J. P. 1999. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta :
Raja Grafindo Persada.
Dossey,
L.M.D. 1997. Healing Words. Terjemahan Hermaya, T. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama
Eaton,
C.L.G. 2002. Remembering God: Reflection
on Islam (Dzikir Plus: Sebuah
Renungan Spiritual). Terjemahan: Wirasubrata, B. Jakarta : Cendekia.
Frager,
R. 1999. Heart, Self and Soul: The Sufi
Psychology of Growth, Balance and Harmony. Wheaton
USA:
Theological Publishing House.
Gunawan,
A.W. 2007. The Magic of Prayer and Forgiveness, Topline findings
(Juli.2007) From: http://www.pembelajar.com/wmview.php?ArtID=795
&page=2
Gymnastiar, A. 2007 Menyadari Keterbatasan Diri, Topline
findings (Juli.2007) From: http://www.cybermq.com/index.php?kolom/detail/2/321/kolom-321.html)
Hidayat,
A. 2007. Doa Sesudah Shalat, Topline
findings (Juli.2007) From: http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&id=503&Itemid=30
Issa, A. 2000. Al-Junun:
Mental Illness in The Islamic World. Madison Connecticut: International
Universties Press, Inc.
Ismail.
2003. Intibah: Buku Panduan Perawatan Sumber Ilahiyah. Perlis Malaysia:
Intibah.
Jackson, L.E. & Coursey, R.D. 1988. The Relationship of God Control and
Internal Locus of Control to Intrinsic Religious Motivation Coping and Purpose
in Life. Journal of the Scientific Study
of Religion. 27. 399 – 410.
Khan, H I.,
2000. Spiritual Dimensions of psychology.
Terjemahan: Haryadi, A. Bandung: Pustaka Hidayah.
Mahoney,
et al. 2003. Religion and the Sanctification Of Family Relationships.
Review Of Religious Research Vol. 4413.
Toto Tasmara. 1999. Dimensi Doa dan
Zikir. Yogyakarta: PT
Dana Bhakti Prima Yasa.
Walters,
J.D. 2000. Affirmations for Self Healing.
Terjemahan: Teguh, A.H. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
Wilcox, L. 2003. Ilmu Jiwa
berjumpa Tasawuf (sebuah upaya spiritualisasi psikologi). Terjemahan:
Bagoesoka, IG. Jakarta:
PT Serambi Ilmu Semesta
Zohar, D. dan Marshal, I.
2000. SQ: Menfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan
Holistik untuk Memaknai Kehidupan. Bandung
: Mizan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar