Rabu, 12 Maret 2014

APLIKASI DAN IMPLIKASI DOA DALAM PERSPEKTIF SALIC (Spiritual Active Learning for Intelligency Cosmic)

Abstrak

APLIKASI DAN IMPLIKASI DOA DALAM PERSPEKTIF SALIC
(Spiritual Active Learning for Intelligency Cosmic)

Cipto Utomo*) dan Rt Anggraini**)
Berdoa merupakan kebutuhan utama untuk menjawab tantangan dan persoalan hidup, menenangkan jiwa, meningkatkan kekuatan, harapan serta optimisme. Berbagai upaya ditempuh individu dengan satu tujuan tunggal yaitu terkabulkannya doa tersebut. Dinamika kehidupan yang kompleks sering mendorong manusia mencari jalan  yang dipercaya dapat mendekatkannya pada tujuan usahanya atau setidaknya memberikan jaminan yang lebih pasti dengan cara berimprovisasi sesuai dengan kadar wawasan dan pengalaman hidupnya atau dengan cara meyusuri jalan yang telah dirintis oleh orang lain. Keyakinan bahwa Allah SWT adalah Rabb Yang Maha Dekat lagi Maha Mendengar serta Mengabulkan doa hamba-Nya, menjadi landasan legitimasi dalam kebebasan berekspresi untuk menyatakan hasrat dan harapan dalam untaian kalimat doa (bahkan juga pada penggunaan bahasa dan “ritual” doa). Meskipun Allah SWT telah menghimpunkan kalimat-kalimat doa di dalam Al Qur'an serta Rasulullah SAW juga telah memberikan banyak contoh kalimat serta tata cara berdoa (doa ma’tsurat), kreasi doa dalam berbagai kalimat, bahasa dan ritual tetap selalu muncul dari masa ke masa. Kajian ini dengan perspekstif SALIC (Spiritual Active Learning for Intelligency Cosmic) -sebuah pendekatan holistik terhadap nilai-nilai pragmatis aplikatif dalam spiritualitas Islam-, mencoba menjawab pertanyaan mengapa pada situasi yang sama tidak semua orang menggunakan bahasa atau kalimat yang sama dalam berdoa? Atau mengapa doa dengan bahasa dan kalimat yang sama memberikan efek berbeda, dan mengapa doa dapat bersifat teraputik, dan bahkan dapat menjadi alat perilaku agresi ?.
Apapun media bahasa atau kalimat serta tata caranya, doa diyakini memiliki energi untuk mengubah keadaan atau mewujudkan harapan atas kehendak dan perkenan Allah SWT. Kekuatan tersebut bisa berasal dari sisi “tekstual” dan “kontekstual” doa, potensi psikospiritual individu serta situasi-kondisi obyektif. Kontekstual meliputi latar belakang situasional yang melandasi niat sehingga menjadi struktur pembangun mindset, pilihan doa atau formulasi kalimat doa, hingga afirmasi (pe-lafadz-an doa). Afirmasi yang di dalamnya terkandung harapan (hope) dapat berupa  obsesional dan harapan yang sifatnya teraputik.
Ketika motion, emotion dan imagery telah terhimpun dalam satu “paket” perilaku doa maka penyempurnanya adalah pemunculan dzon (prasangka) terhadap Allah SWT. Prasangka inilah yang akan memberikan implikasi doa. Hal ini menjelaskan penyebab setiap individu memiliki doanya sendiri dan ketika mereka menggunakan doa yang sama ternyata hasilnya juga tidak selalu sama.

Kata kunci: aplikasi-implikasi, doa, perspectif Salic
*)    Master trainer Graha SALIC, MQ, Indomatrix
**)  Mahasiswa program doktoral Fakultas Psikologi UGM

Ѱ Makalah ini disampaikan dalam Konggres API tahun 2007, di UNISSULA Semarang.


APLIKASI DAN IMPLIKASI DOA DALAM PERSPEKTIF SALICѰ
(Spiritual Active Learning for Intelligency Cosmic)

Oleh:
Cipto Utomo dan Rt Anggraini

Doa
Doa (prayer) berasal dari kata latin precarius (yang diperoleh dengan mengemis), dan precari (memohon, meminta dengan sangat ). Individu yang berdoa, adalah pertanda yakinnya seseorang atas kehadiran Allah SWT dalam setiap ayunan langkah serta desah nafas kehidupannya. Ketika seseorang mengangkat kedua tangannya, lalu terlafadzkan dari lesannya asma Allah, hakekatnya adalah sebuah penegasan dalam diri bahwa Dia benar-benar ada dan dirinya ingin meng-ada bersama-Nya. Doa adalah ungkapan kerinduan seorang hamba kepada Khaliknya. Doa adalah bahasa nurani ketika segala perasaan tidak lagi bisa terbendung oleh dinding keangkuhan dan keakuan, merupakan proposal hati untuk mengantarkan segala permohonan. Doa adalah simbol optimisme akan harapan masa depan dan merupakan lambang manusiawinya manusia yang butuh campur tangan-Nya Yang Maha Perkasa dan manusia percaya kepada janjiNYA. Toto Tasmara (1999) menegaskan di dalam doa ada sesuatu yang dituju, yang diharapkan. Sehingga, dalam kandungan optimisme tersebut manusia menjadi bergairah untuk berbuat dan menyatakan dirinya secara aktual dan bertanggung jawab di tengah-tengah perjalanannya meniti ombak samudera kehidupan yang penuh tantangan.

Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu (QS Al Mukmin.40: 60).

Berdoa berarti memanggil diri sendiri. Jiwa dan kesadaran diseru, dihentakkan agar sadar bahwa "aku" sedang beraudiensi dengan Tuhanku. Tidak ada sikap yang paling terbuka, transparan dan telanjang, kecuali saat manusia sedang melaungkan doa, harapan dan munajat kepada Tuhannya. Begitu dahsyatnya doa yang prihatin sehingga dapat mengubah takdir (Toto Tasmara, 1999).
Dzat Allah terbebas dari dimensi ruang dan waktu. Segala bayangan dan khayalan manusia yang dibangun di atas sendi logika manapun, baik berdasarkan imajinasi maupun referen berupa pengalaman inderawi tidak akan mampu menyentuhNya. Manusia hanya diperintahkan untuk mengimani bahwa dengan segala sifat-Nya yang mutlak, Dia senantiasa hadir, menyaksikan, mendengar, mengetahui serta mengawasi dan menjaganya tanpa pernah luput sedikitpun. Hubungan interaktif antara Dia-hamba-Nya tanpa ada jeda antara dan bentang area. Dzat-Nya tidak untuk dicari, tapi untuk dirasakan. Tidak untuk dikejar, karena cukuplah bagi manusia untuk kembali dari berpaling hanya kepada-Nya.
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku (QS. Al Baqoroh 2: 186)

Terdapat dua bentuk doa, yaitu: 1) petisi, meminta untuk dirinya sendiri dan 2) intercesi, memohonkan untuk orang lain. Dari isinya maka ada yang berupa konfesi (pengakuan, penyesalan, meminta pengampunan); lamentasi (berseru dalam kesesakan dan meminta pembalasan); adorasi (penghormatan dan pujian); invokasi (memangil Tuhan dan berteimakasih, bersyukur) (Dossey, 1987).
Doa adalah energi psikospiritual yang diaktifkan manusia ketika menginginkan adanya perubahan dari yang tidak ada menjadi ada dan sebaliknya, menjadi lebih baik atau berubah sesuai harapan subyektif individu. Implikasinya bisa individual dan bisa juga massif, menembus berbagai  dimensi, tidak dapat dibatasi oleh ruang, waktu dan tempat. Sekalipun doa bahkan dilakukan secara individual, subyektif ataupun soliter tapi energinya sangat potensial berimplikasi tak sekedar pada si individu pelakunya sendiri atau lingkungan terdekat individu saja. Implikasinya dapat menembus berbagai dimensi atau bentuk-bentuk dunia yang lain.  Inilah yang harus disadari oleh siapapun yang berdoa. Persoalannya adalah, apakah individu yang berdoa menyadarinya dan siapkah menerima implikasi tersebut?
Ada semacam tanggung jawab individual dan sosial ketika seseorang berdoa. Sekalipun tampaknya hanya ada relasi antara "KAU dan aku", tetapi sesungguhnya tidaklah hanya sekedar demikian, karena eksistensi aku tidaklah pernah benar-benar hanya aku tunggal, keberadaan satu aku tidak lepas dari aku-aku yang lain. Menurut penelitian berdoa dilakukan individu karena memiliki masalah yang menyangkut hubungan antar manusia sebagai motivator yang paling tinggi, mulai dari hubungan dalam keluarga, dalam kelompok kecil dan kemudian berlanjut dalam hubungan yang makin meluas atau jauh (Mahoney, et al., 2003). Menurut Anggraini (2000) masalah yang paling berat yang menjadi pendorongnya adalah masalah cinta (jatuh cinta maupun putus cinta, dalam rangka meraih, mendapatkan ataupun kehilangan cinta), kemudian masalah rejeki material (yang dalam hal inipun dapat diperinci mulai dari kebutuhan dasar), dilanjutkan dengan kebutuhan sosial yang lebih tinggi. Apabila diurutkan maka tampak bahwa ada semacam Maslow's hierarchy of need mulai dari basic need, social need, power need dan actualizaion need dan yang kemudian disempurnakan dengan spiritual need.

Konsep Holistik dan Perspektif Salic
Konsep holistik memandang segala sesuatu sebagai saling kait mengkait, saling pengaruh mempengaruhi bagaikan jejaring, berupa kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan atau disekulerkan. Konsep holistik dalam memandang manusia sebagai sumber daya insani yang sangat dipengaruhi kualitasnya oleh kondisi psikologi, sosial-ekonomi,  fisik,  dan spiritual-religius bahkan ketika masih dalam gagasan (ide, cita-cita) orang tua. Kemudian dalam perkembangan kehidupannya Sumber Daya Insani sangat dipengaruhi faktor mikro dan makrokosmos. Manusia tidak hanya menerima pengaruh tetapi juga mempengaruhi bahkan menciptakan situasi kondisi, karena pada dasarnya pada diri setiap insan telah dilengkapi berbagai potensi fitrah dari Tuhan sebagai bekal tidak hanya untuk menerima stimulasi saja, tetapi juga untuk menghadapi, menguasai, memimpin dan mengubah lingkungan atau dunianya (Anggraini 2006).
Insan yang dekat dan sadar eksistensi Tuhan sebagai NUR (cahaya segala cahaya), dan menyadari eksistensinya dalam jaringan mikro-makrokosmos yang diperolehnya melalui belajar yang dimulai dengan perilaku "membaca" secara konsisten-konsekuen, bermotivasi intrinsik serta selalu berwawasan vertikal-horisontal dalam seluruh amalan, maka insan tersebut akan memiliki atau mencapai kecerdasan kosmik, yang pada akhirnya akan memudahkannya untuk menemukan dan mengurai permasalahan diri dan kehidupan.
            Berdasarkan konsep holistik, maka doa merupakan manifestasi dari diri manusia yang dengan kecerdasan kosmiknya akan "dapat mengubah takdir". Tidaklah mengherankan bila pada individu-individu dengan tataran atau tingkatan psikospiritual tertentu, doa tidak lagi sekedar dimotivasi oleh kebutuhan-kebutuhan hidup seperti kebanyakan orang,  tetapi  motivasi tersebut meluas sedemikian rupa dan bersifat transpersonal. Sebagai contoh, hal itu semakin tampak jelas di kalangan para sufi yang menempuh jalan suluk. Mereka juga sering disebut para salik. Menurut Khan (1981) bagi para salik, doa merupakan cara untuk menjangkau hal-hal yang bagi individu kebanyakan tidaklah mungkin dicapai (dilakukan). Kesadaran mereka yang sangat tinggi tentang eksistensi Tuhan menimbulkan keyakinan bahwa segala sesuatu adalah mungkin, mampu membuka makna-makna dan mencapai tujuan hidupnya.
Dapat diperjelas bahwa melalui pencarian dan penelusuran jalan menuju makna, yaitu jalan menuju keterhubungan dengan Sumber Segala Cahaya maka setiap individu potensial akan mencapai suatu tataran intelligency cosmic. Jalan tersebut tidak sekedar dalam bentuk keyakinan tetapi berupa amalan-amalan nyata (action) yang bermakna melalui proses  iqro' (observasi, eksploration, research dengan perilaku open), yang pada akhirnya memunculkan pemahaman terhadap berbagai fenomena yang tergelar dalam kehidupan yang dihayatinya sebagai proses learning (pembelajaran).
Doa dalam perspektif SALIC (Spiritual Active Learning for Intelligency Cosmic) merupakan salah satu ekspresi untuk membuka jalan dan menjalin keterhubungan (connection) pada Yang Maha Penghubung sehingga hukum sunnatullah berlaku.
Mendikte Tuhan
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (QS. Al Baqoroh 2: 216).

Dalam konteks makrokosmos-mirokosmos, hakekatnya antara individu dengan individu dan antara individu dengan universe terdapat hubungan saling terkait dan terikat dalam hubungan sebab akibat. Tidaklah satu kejadian maupun peristiwa berdiri sendiri, melainkan terhubung dengan kejadian dan peristiwa lainnya, baik sebelum maupun kesudahannya. Allah SWT menciptakan alam semesta dengan prinsip keseimbangan yang sempurna (mizan, balance-harmony, keseimbangan sibernatik Q.S. 55:7), dan terus dijaga-Nya hingga masa kehancuran tiba (datangnya hari akhir). Di atas prinsip keseimbangan inilah skenarioNYA berlaku dan menjalankan takdir-Nya atas kehidupan yang tengah berlangsung, maka satu pergerakan akan senantiasa diikuti dengan pergerakan lainnya, satu perubahan akan diikuti perubahan lainnya (sunnatullah).
            Sayangnya, manusia sering terburu-buru ingin segera mendapatkan hasil, akibatnya tidak jarang doa menjadi bersifat agresif dan mengekspresikan pemaksaaan kehendak, seolah sedang mendikte Tuhan. Ketika harapan terwujud, individu mempersepsikannya sebagai hal terbaik yang seharusnya berlaku atas kehidupannya, sebaliknya ketika harapannya tidak juga terwujud memunculkan perilaku obsessif dalam bentuk doa yang intensif, makin panjang dan berulang, atau justru agresif pasif, "mogok", patah harapan atau bahkan marah padaNYA. 
Di samping terburu-buru, manusia juga sering melupakan eksistensi orang lain yang juga sama-sama punya hak untuk menaruh harapan kepada Tuhan yang sama, dan alam lingkungannya yang juga memiliki hak untuk dipertimbangkan dan dijaga keseimbangannya. Tuhan semesta alam, tentulah jauh (baca: mustahil) dari sifat dzalim dengan meninggalkan kebijaksaan-Nya dalam mengatur kehidupan. Kasih sayang-Nya melingkupi semua makhluk, tanpa terkecuali, secara logika dengan tidak terwujudnya semua harapan manusia justru tidak lain adalah bukti kebijaksanaan tersebut. Akibat kelengahan ini, ketika implikasi yang diterima individu jauh dari harapan dapat mengakibatkan degradasi keimanan yaitu tingkat kepercayaan yang menurun., padahal kepercayaan inilah yang dibutuhkan untuk terkabulnya sebuah doa.
Mendikte Allah SWT menunjukkan sifat patologis dalam berelasi denganNYA, merupakan ekspresi keangkuhan dan kesombongan karena individu telah menganggap dan menempatkan dirinya lebih tahu dari Dia Yang Maha tahu. Sikap ini akan semakin menjauhkan manusia dariNYA, bisa berimplikasi pada dibiarkannya manusia terlantar dalam buaian harapan dan angan-angan kosongnya, bahkan sikap tersebut bisa mengundang murka-Nya. Na'udzu billah!. Menurut penelitian Issa (2000) individu-individu yang demikian sangat rentan untuk kecewa, frustrasi, merasa gagal, kesepian yang mencekam, dan masalah-masalah psikopatologis lainnya .

Variasi Doa Komunikatif
Doa adalah inti peribadatan baik yang mahdloh dan non mahdloh, maka berdoa dapat dilaksanakan sesuai tata cara yang telah ditentukan maupun cara yang disesuaikan dengan konteks kebutuhan. Doa yang baku bersumber dari ayat-ayat Al Quran dan hadits nabi, sedangkan tata pelaksanaan yang lebih banyak terkait pada aspek waktu dan konteks persoalan serta tujuan berdoa bervariasi sesuai kebutuhan dan dengan harapan mendapatkan manfaat (fadhilah) doa sebagaimana yang telah banyak diriwayatkan dalam kajian tafsir maupun asbabul wurud (konteks turunnya hadits).
Bagi penutur yang menguasai bahasa Arab, pemaknaan terhadap ayat-ayat al Qur'an maupun al ma'tsurat tidaklah menjadi kendala berarti, namun bagi non penutur lesan atau yang belum menguasai bahasa arab, pemaknaannya bisa jadi berkurang, bahkan bisa berbeda hingga keluar dari konteks doa. Individu seperti ini membutuhkan bantuan bahasa yang lebih mudah dimengerti dan umumnya mereka akan menggunakan bahasa ibu atau menyusun sendiri lafadz doa sesuai kebutuhan. Individu yang menguasai bahasa Arab-pun terkadang memilih untuk mengungkapkan doanya dengan lafadz yang bervariasi.
Bagi Allah SWT, lafadz doa sebagai media komunikasi yang variatif tidaklah menjadi masalah, karena Allah SWT Maha Mengetahui semua bahasa makhluk bahkan ketika individu diam atau hanya bersitan dalam hati. Dalam hal ini individu memiliki kebebasan mengekspresikan harapannya.
            Dalam banyak hal, doa benar-benar sangat subyektif, merupakan suara batin yang hanya dimengerti dan dipahami individu sendiri. Di dalam doa manusia merdeka untuk berbicara, bebas mengungkapkan suara hatinya tanpa merasa terbelenggu oleh apapun, tidak perlu gagap dan gamang. mengungkapkan perasaannya dengan optimisme yang luar biasa terhadap Allah. Bahkan Rasulullah membimbing semua manusia agar di dalam berdoa tidak dibenarkan ada semacam "reserve", baik bahasa atau ungkapan yang sangsi.
            Sabda rasul SAW: "berdoalah kepada Allah dan kamu harus berkeyakinan, maka pasti dikabulkan. Ketahuilah bahwa Allah tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lalai (HR Turmudzi)" (Toto Tasmara, 1999).

Aplikasi Doa
Hal paling prinsip dalam berdoa adalah tertatanya niat dan terkonsentrasinya harapan dan tujuan yang dialamatkan hanya kepada Allah SWT, menembus dunia ragawi menuju dunia gaib, membumbungkan harapannya dari kaki langit menembus 'Arsy (kerajaan Tuhan). Pentingnya fokus dan konsentrasi dalam hal ini supaya manusia terhindarkan dari terbelokkannya doa pada hal-hal yang berunsur syirik, hingga merasa masih membutuhkan bantuan dari yang lain akibat lemahnya keyakinan akan kekuasaan Allah SWT.
Banyak hal yang melatarbelakangi seseorang berdoa. Latar belakang yang berbeda ini melahirkan niat yang berbeda pula. Namun apapun niatnya, harapan yang diusung adalah terkabulkannya hajat yang diniatkan tersebut. Secara berurutan, inilah proses ideal yang menuntun seseorang pada pencapaian harapan melalui do'a:
a.  Latar situasi
Terdapat perbedaan individual dalam persoalan, latar situasi, dan tingkat kebutuhan problem solving manusia. Setiap kurun masa memiliki tantangan hidup yang berbeda. Setiap orang memiliki resistensi yang berbeda pula, di samping beragamnya alternative yang ditawarkan menambah kompleksitas tersendiri. Dalam konteks ini, berdoa bisa diposisikan sebagai alternatif  solusi atau menjadi solusi utama yang sangat berpengaruh pada kuat tidaknya niat.

b.  Niat
            Praktek-praktek keagamaan mengajarkan untuk menyambungkan diri dengan bagian diri yang terdalam, maka dapat dikatakan bahwa “Niat”  yang meliputi motivasi dan kehendak mempunyai kaitan yang erat dengan masalah emosi.  Perasaan menentukan tindakan dan sebaliknya, perilaku sering kali menentukan bagaimana perasaan individu (Zohar, 2000). Sekalipun “niat” tidak harus selalu diucapkan karena lebih merupakan suatu aktivitas batiniah, tapi niat bermakna sentral dalam segala perbuatan. Niat sebagai “al qasdu” (kehendak) dalam psikologi mencakup pengertian motivation dan goal. Motivasi merupakan alasan berbuat, sedangkan tujuan menyangkut kehendak yang ingin dicapai (Anggraini, 2001). Dengan panjang lebar motive (motif) diterangkan dalam kamus psikologi sebagai 1) satu keadaan ketegangan di dalam individu, yang membangkitkan, memelihara dan mengarahkan tingkah laku menuju pada satu tujuan atau sasaran. 2) alasan yang disadari, yang diberikan individu bagi tingkah lakunya. 3) satu alasan tidak disadari bagi satu tingkah laku (unconscious motivation). 4 ) satu dorongan (drive), perangsang, rangsangan, Istilah drive terutama sekali di pakai menyangkut motif-motif primer , untuk mana basis jasmaniahnya telah diketahui. 5) satu set atau sikap yang menuntun tingkah laku (Chaplin, 1999). Motif psikologis terutama dipengaruhi oleh tipe masyarakat dimana seseorang dibesarkan, lingkungan dimana dia hidup, pengalaman hidup dan informasi apakah yang masuk dalam dirinya.
            Sabda Nabi SAW: "Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat". Hal ini menjelaskan salah satu dari dua pilar dasar setiap amal, yaitu ikhlas dalam beramal dan jujur dalam batinnya sehingga yang selain Allah tidak meretas ke dalamnya.

c.  Mindset
Permasalahan yang dirasa dapat terselesaikan lewat media doa yang menimpa seseorang atau suatu kaum bisa jadi pernah menimpa orang lain atau kaum sebelumnya. Hal ini bisa disimak melalui kisah-kisah dalam kitab suci, kumpulan hadits atau kumpulan kisah para ulama terdahulu. Ketika dirasa kejadiannya mirip atau bahkan sama (meskipun dengan kadar dan konteks yang berbeda), maka terjadilah proses imitasi doa, kreasi dan variasi. Kemiripan sebuah kejadian tidak mungkin sampai 100 persen untuk itu, yang diperlukan hanyalah menimbang kadar kemiripan pada kejadian yang dijadikan pembanding, yang paling dominan lantas dijadikan rujukan formulasi lafadz doa yang lebih kompleks. Berikutnya, pikiran dibingkai dengan satu keyakinan bahwa doa yang akan dipanjatkan adalah sebuah solusi, bukan sekedar aktivitas lesan, tetapi merupakan aktivitas sadar yang melibatkan: hati atau perasaan, motorik, seluruh indra dan alam lingkungan internal maupun eksternal. Jadi doa bukan sekedar kata-kata yang disusun dengan sedemikian indah seperti syair dan bukan semata-mata urusan kognisi dan perasaan saja (Gunawan, http://www.pembelajar.com)
d.   Formulasi
Seseorang akan menggunakan doa yang sama atau yang telah diformulasikan dengan satu harapan permasalahannya akan teratasi sebagaimana orang lain atau kaum terdahulu yang telah terbantu oleh doa tersebut. Sampai di sini, lahirlah kompilasi doa baik yang dilaksanakan secara individual maupun berkelompok (jamaah). Berdasarkan penelitian Ikemi (dalam Dossey,1997) menyimpulkan formula doa yang tidak meniru, spontan dengan bahasa hati yang tulus-jujur, dan individu menjadi dirinya sendiri dalam arti sesungguhnya dengan menghargai pengalaman dari kedalaman jiwa sendiri, sehingga doa muncul dari pusat jati dirinya, telah terbukti pengaruhnya yang kuat dalam peristiwa-peristiwa SRC (spontaneous regression of cancer). Bernie (1999) juga menyatakan doa yang tulus dan pasrah serta spontan akan beraya sembuh yang tinggi.
Hal tersebut akan sulit dilakukan oleh mereka yang tidak berkembang kecerdasan kosmiknya, karena kebanyakan individu lebih tergantung kepada formula orang lain akibat secara sadar maupun tidak, sifat dependensi kepada subyek atau obyek tertentu lebih besar dari dependensinya kepada Tuhan itu sendiri.
e.  Afirmasi (pelafadzan)
Mengapa kita perlu hati-hati dalam memilih kata dalam doa?
Bagian paling ekspresif dalam berdoa adalah ketika melafadzkannya. Hal yang ditimbulkan dari afirmasi tidaklah sederhana, lebih-lebih bila yang melakukannya memiliki tataran kepribadian tertentu dan memiliki energi psikospiritual yang tinggi dan terasah. Sebagai afirmasi semestinya kata-kata yang dilafadzkan haruslah hal-hal positif yang dilandasi oleh perasaan atau emosi positif dan konstruktif. Setiap kata mempunyai kekuatan dalam memprogram pikiran, kalbu, perilaku dan merubah alam. Gunawan (2007) menyatakan kata yang digunakan dalam doa, suka atau tidak, sebenarnya adalah afirmasi yang sangat dahsyat efeknya. Kata yang digunakan, secara sadar atau tidak, menentukan level dan kualitas berpikir  individu (http://www.pembelajar.com).
Diksi, intonasi, irama, volume, dan kuantitas pengulangan sangat berpengaruh terhadap semakin besarnya kesungguhan dalam berdoa dan energi yang dimunculkan. Hal ini bermula dari apa yang dipikirkan, dirasakan, diketahui dan dihayati serta diharapkan, yang kemudian diverbalisasikan baik secara keras, lembut maupun hanya dalam batin. Perilaku ini mengandung suatu energi hebat yang bahkan pengaruhnya tidak dapat dihijab-i, tidak berbatas waktu dan ruang. Energi ini muncul karena apa yang diekspresikan bermuatan segala hal yang telah dilampaui individu baik secara sadar maupun tidak sadar, pola-pola perasaan, kebiasaan, dan reaksi-aksi dalam jumlah yang tidak terhingga sepanjang hidupnya  Afirmasi yang menggunakan kata-kata negatif dan diperkuat dengan emosi negatif akan bermuatan energi negatif yang berdampak destruktif (Frager, 1999). Doa yang penuh dendam sebagai usaha membalas atau memaksakan kehendak mengekspresikan ketidak sabaran. Doa demikian dengan ijin Allah SWT dapat berproses dan menghasilkan sesuai harapan yang melafadzkannya, berdaya rubah yang besar, menimbulkan ketidak seimbangan baik secara mikro maupun makro. Namun demikian sejalan dengan Hukum Sebab Akibat atau Hukum Tabur Tuai, maka apa pun yang ditabur, melalui pikiran, ucapan, dan perbuatan akan kembali pada individu yang menaburnya. Hal demikian juga merupakan manifestasi derajat insaniah pelakunya, manifestasi dominasi sisi negatif potensi dan kepribadian individu.
Sebuah afirmasi dari insan unggul yang memiliki kecerdasan kosmik hasil dari koneksitas dengan Sang Maha Kuasa (memiliki kesadaran ilahi atau divine consciousness) berkualitas tinggi, akan dapat mengubah dunia. Lebih-lebih bila afirmasi tersebut dilakukan secara masal dengan penuh penghayatan dan kesadaran, sehingga merupakan unjuk rasa kepada Tuhan. Menurut Walters (1987) afirmasi adalah pernyataan tentang kebenaran yang hendak diserap ke dalam kehidupan seseorang. Afirmasi yang dilakukan dengan konsentrasi yang mendalam dan diarahkan ke alam bawah sadar akan menggeser pikiran yang dikendalikan secara sadar (conscious control).
f.     Motion-Emotion
Situasi lingkungan sosial yang kompleks menyebabkan kadar keheningan jiwa dan kebeningan batin semakin menurun. Untuk menciptakan kekhusukan dan konsentrasi dalam berdoa semakin berat tantangannya. Maka diperlukan mediasi yang mampu membantu pengkondisian jiwa, maka muncullah beragam ritual doa, mulai dari sekedar memainkan irama suara hingga gerakan-gerakan fisik (motion) yang melibatkan batin (emotion). Wujud gerakan fisik bisa berupa gerakan tangan, jari-jari, anggukan atau gelengan kepala, gerakan rukuk atau sujud, atau bahkan semacam tarian. Wujud gerakan batin misalnya menangis, meratap, atau bahkan teriakan semangat (Eaton, 2002).
Berdoa adalah pekerjaannya hati karena yang paling menentukan doa adalah perilaku hati. Hati akan bisa memohon sesuatu, jika  paham apa yang terkandung dalam doa-doa yang dipanjatkan. Kata Rasul: "Ud'ullaaha wa antum muuqinuuna bil ijaabah, wa'lamuu annallaaha 'azza wajall laa yastajiibu du'aa'an min qalbin ghaafilin" (Berdoalah kepada Allah seraya mantap apa yang kamu panjatkan itu terkabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah Yang Maha Agung tidak akan mengabulkan doa dari HATI YANG LUPA). Maksudnya "hati yang lupa" disini tiada lain adalah doa yang tidak disertai dengan rintihan hati; doa sambil melamun; doa sekedar hafalan tidak tahu makna kalimat-kalimat yang ia panjatkan; dan semacamnya (Hidayat, http://www.pesantrenvirtual.com).
g.        Hope
Semangat dalam melakukan afirmasi yang disertai motion-emotion erat kaitannya dengan hope (harapan) yang hendak dicapai, karena harapan yang semakin tinggi meningkatkan energi psikospiritual doa. Perlu dimengerti, saat individu berdoa, batinnya menelusup masuk ke dalam dimensi gaib, menggetarkan 'arsy Tuhan (hal serupa terjadi ketika dimensi ke-Tuhanan masuk ke dalam dimensi sanubari manusia yang mampu menggetarkan dinding-dinding jiwa). Getaran energi inilah yang kemudian mendorong terjadinya gerakan massif seluruh elemen makrokosmos (universe) dibawah kuasa skenario Tuhan, membentuk sebuah formasi sebagaimana dikehendaki oleh harapan individu yang sedang berdoa.
Inilah fase yang sangat signifikan ketika berdoa. Pada fase ini, elemen makrokosmos akan langsung berhadapan dengan getaran jiwa. Bahasa yang akan dimanifestasikan adalah bahasa jiwa, bukan lagi bahasa lesan. Maka apapun bunyi proposal harapan yang terucap oleh lesan, yang akan di-aminkan oleh universe adalah harapan yang melekat-menyatu di jiwa. Di sinilah terletak rahasia, mengapa ketika melafadzkan doa yang sama, orang yang berbeda akan mendapatkan implikasi yang berbeda dari doanya. Hal ini dikarenakan betapa mudah meng-imitasi lafadz doa orang lain, tapi sangat sulit untuk juga meng-imitasi harapan yang melekat-menyatu di jiwanya..
h. Imagery
Imagery (penisbatan) membantu hope tervisualkan lebih jelas dan ini semakin menguatkan afirmasi. Contoh imagery ada dalam kalimat doa berikut, "ya Allah, sesungguhnya Engkau telah tunjukkan ayat-Mu padaku dalam kisah rasul-Mu yang telah Kau uji dengan ujian yang mirip denganku. Jika dengan doa yang sama dengan doa yang kupanjatkan pada-Mu ini Engkau berkenan mengeluarkannya dari kesulitan, maka keluarkanlah aku dari kesulitan ini".
Tidak jarang ketika berdoa, individu berfikir bahwa dirinya tengah berhadapan dengan Dzat yang berjarak antara langit dan bumi dengan dirinya, padahal sebenarnya Dzat yang sedang diajaknya berkomunikasi adalah Dzat yang tiada berjarak. Individu beranggapan seakan-akan doanya akan melintasi anak tangga yang bertumpuk-tumpuk hingga tiada kelihatan ujungnya untuk bisa sampai pada Sang Penerima Doa, padahal Dialah Dzat Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, bahkan sebelum kata-kata belum terucap dan masih berupa lintasan fikiran atau gerakan jiwa.
Untuk dapat melakukan imagery, individu harus tahu persis dengan siapa dia berhadapan. Harus pula tahu, bagaimana sifat-sifatNYA yang mendorong manusia harus optimis bahwa sebuah doa pasti didengar dan dikabulkan serta bagaimana proses terkabulnya doa. Ketika pengetahuan ini sudah menjadi sebuah keyakinan yang kuat, individu akan merasakan sebuah hubungan yang intim tiada berjarak sehingga ia bebas mengutarakan apa saja, termasuk menyampaikan hal-hal mendetail terkait harapan yang disampaikan melalui proposal doanya. Dalam hal seperti inilah salah satu peran kecerdasan kosmik berpengaruh sangat besar.
i.          Dzon
Allah SWT berfirman dalam sebuah hadits Qudsy yang menyatakan bahwa "Aku adalah sebagaimana hamba-Ku berprasangka terhadap-Ku..". Pada tahapan inilah, kepasrahan (tawakkal) diserahkan sepenuhnya kepada Allah SWT dengan prasangka positif bahwa Dia akan berikan hasil yang terbaik dari ikhtiar berupa do'a yang telah disempurnakan sebelumnya.
Sikap ideal ketika berdoa atau saat bersiap menerima implikasi doa, adalah meyakini apa yang diterima sebagai yang terbaik dengan pasrah. Kepasrahan diwujudkan dalam bentuk kesungguhan ikhtiar dan harapan hasil terbaik (action toward ultimate achievement) sebagai kewajiban manusia yang disadari. Adalah hak Allah SWT untuk menciptakan skenario terbaik, dan manusia yang baik selalu berfikir positif terhadap skenarioNYA.
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu (QS. Ath Thalaaq; 65: 3)

Dzon yang terbangun atas implikasi doa yang diberikan Tuhan akan senantiasa positif apabila didasari sebuah kerangka berfikir bahwa tugas hidup manusia di dunia ini memang hanya dua, pertama senantiasa meluruskan niat dan kedua, menyempurkan ikhtiar. Jika berupaya semaksimal mungkin, apa yang menjadi keinginan Insya Allah akan terwujud. Namun, bersamaan dengan kepercayaan diri untuk mengoptimalkan ikhtiar, sebagai manusia juga harus menyadari beragam keterbatasan yang dimiliki serta memahami hukum keseimbangan. Kadangkala, terjadi sesuatu di luar jangkauan akal dan pikiran. Atau malah ada sebuah kondisi dimana seseorang telah mengerahkan seluruh kemampuan, tapi tidak kunjung berhasil. Saat ini kesadaran sebagai manusia biasa dengan banyak kekurangan harus dibangkitkan. Tanpa kesadaran ini, hidup akan dipenuhi rasa galau, gelisah, resah, cemas dan penuh ketidak puasan.
Banyak studi membuktikan bahwa doa secara positif dan sangat signifikan mempengaruhi perubahan tekanan darah, penyembuhan luka, serangan jantung, sakit kepala, dan menurunnya kecemasan (Anggraini, 2004: Dossey, 1987). Subyek penelitian mencakup air, enzim, bakteri, jamur, ragi, sel-sel darah merah, , sel kanker, sel pemacu, benih, tumbuhan, ganggang, , larva, ngengat, tikus, dan anak ayam, dan terbukti pengaruhnya pada waktu yang diperlukan untuk sadar dari pembiusan, efek otonom elektrodermal kulit, kadar hemoglobin dan laju hemolisis sel-sel darah merah (Dossey, 1987).
Dengan demikian betapa ruginya jika hidup yang sekali-kalinya ini dihiasi perasaan negatif, hanya karena sebuah kejadian, atau peristiwa yang tidak sesuai dengan keinginan. Selama hidup, peristiwa-peristiwa di luar kehendak manusia pasti akan terjadi lagi, karena manusia memang tidak berdaya upaya apapun.  Dan harus menyadari seyakin-yakinnya, bahwa Allah SWT mempunyai rencana tersendiri bagi setiap diri manusia. Menurut Gymnastiar (2007) segala sesuatu yang kemudian terjadi, bukanlah sebuah masalah, karena itulah keputusan terbaik dari Allah bagi manusia, hamba yang disayangi-Nya. Sekalipun  bersikeras tidak mau menerima kehendak-Nya, namun bisa jadi memang hal itu yang terbaik (http://www.cybermq.com)

Implikasi Doa
Hubungan manusia dengan Tuhannya adalah sebuah hubungan tiada berjarak, tiada terpisah oleh dimensi ruang dan waktu. Kapanpun dikehendaki, manusia bisa berkomunikasi dengan-Nya. Demikian pula sebalik-Nya, pesan-pesanNYA yang terangkum dalam kalam maupun ayat senantiasa tergelar sepanjang masa tiada sedetikpun mengalami jeda. Apapun bahasa manusia, Tuhan memahaminya. Tetapi sebaliknya, manusia sering tidak memahami bahasa Tuhan yang tengah berkomunikasi dengannya. Pemahaman bahwa setiap kata pasti terbalas, setiap doa pasti terjawab adalah benar adanya. Namun karena tidak semua manusia memahami bahasa Tuhannya, inilah yang menjadi pangkal lahirnya multitafsir terhadap kejadian yang notabene adalah bahasa komunikasi Tuhan sebagai implikasi doa.
Daun jatuh, pohon tumbang, air mengalir, awan berarak, malam berselimut dingin, hingga air bah meluap, bumi terbelah, langit terguncang adalah bahasa Tuhan. Sehat, sakit, sedih, bahagia, gagal, berhasil, celaka adalah bahasa Tuhan. Ketika Tuhan ingin menampakkan pelangi, terlebih dahulu menurunkan hujan. Ketika ingin menampakkan asap, terlebih dahulu Tuhan memberikan api. Inilah hukum sebab akibat yang juga adalah bahasa Tuhan.
Ketika manusia menengadahkan tangan, menggetarkan jiwanya sembari melantunkan lafadz doa dengan maksud menjalin komunikasi dengan Tuhan Yang Gaib, pada saat yang sama idealnya ia juga harus siap menerima respon balik berupa jawaban dengan menggunakan bahasa Tuhan. Positif atau negatif penerimaan individu terhadap bahasa Tuhan tergantung persepsi masing-masing. Yang sunnatullah, akan senantiasa mengiringi kehidupan ini selamanya dan manusia harus senantiasa siap menerima hukum yang kekal ini.
Kesiapan atau ketidaksiapan individu menerima hukum sebab akibat serta sadar atau tidak sadarnya individu mengenai keterikatan dan keterkaitannya (mikrokosmos) dengan universe (makrokosmos) akan memberikan dampak bahkan tidak hanya dalam perilaku doa tetapi dalam semua perilaku karena dampaknya yang bersifat holistik. Hal ini didukung oleh pernyataan yang sungguh mengembirakan dari AAFP (American Academy of Family Physicians) (1996) bahwa masalah kesehatan individu, kebahagiaan, keluarga dan produktifias semestinya tidak didekati secara sekular. Pendekatan holistik yang melibatkan spiritualitas merupakan pendekatan mutakhir yang paling rasional untuk memahami manusia secara komprehensif. Berdasarkan konsep yang sama, Ismail (2003) berpendapat bahwa  permasalahan manusia sesungguhnya lima puluh persen (50 %) adalah masalah spiritualitas-religius, dua puluh persen (20 %) masalah emosi, dua puluh persen (20 %) masalah mental, dan yang sepuluh persen (10%) adalah masalah fisikal. Pendapat itu menunjukkan bahwa masalah spiritual (religius) merupakan faktor yang sangat penting dan dominan di dalam kehidupan.
Kesimpulan
Apapun media bahasa atau kalimat serta tata caranya, doa diyakini memiliki energi untuk mengubah keadaan atau mewujudkan harapan atas kehendak dan perkenan Allah SWT. Kekuatan tersebut bisa berasal dari sisi “tekstual” dan “kontekstual” doa, potensi psikospiritual individu serta situasi-kondisi obyektif. Kontekstual meliputi latar belakang situasional yang melandasi niat sehingga menjadi struktur pembangun mindset, pilihan doa atau formulasi kalimat doa, hingga afirmasi (pe-lafadz-an doa). Afirmasi yang di dalamnya terkandung harapan (hope) dapat berupa  obsesional dan harapan yang sifatnya teraputik. Ketika motion, emotion dan imagery telah terhimpun dalam “paket” perilaku doa maka penyempurnanya adalah pemunculan dzon (prasangka) terhadap Allah SWT. Prasangka inilah yang akan memberikan implikasi doa. Hal ini menjelaskan penyebab setiap individu memiliki doanya sendiri dan ketika mereka menggunakan doa yang sama ternyata hasilnya juga tidak selalu sama.
Kesadaran dan penghayatan terhadap ungkapan: ...sungguh, tidak ada yang kebetulan dalam perjalanan kehidupan ini. Semua peristiwa, pertemuan - perpisahan, kelahiran - kematian, kebangkitan - kejatuhan, .. semua berada dalam bingkai skenario Allah SWT, Dzat Yang Maha Berkehendak (Qur’anic Psychocybernetic) merupakan salah satu manifestasi dari kecerdasan kosmik yang sangat penting didalam perilaku doa, agar perilaku tersebut berimplikasi positif.


DAFTAR PUSTAKA

AAFP (American Academy of Family Physicians).1996. Sprituality & Healing in Medicine. Topline Findings (Oktober, 1996)  From Website at www.nihr.org

Anggraini, R. 2001. Psikologi Haji. Semarang: LBMH-KBIH PD Muhammadiyah.
Anggraini. 2002. Catatan Perjalanan Haji-Perjalanan Cinta untuk yang Tercinta Semarang: LBMH-KBIH PD Muhammadiyah
Anggraini. 2004. Stres dan Orientasi Motivasi Calon Haji Serta Seni Pernafasan Dengan Dzikir Dalam Latihan Manasik Haji. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Tidak diterbitkan.

Bernie, S.S. 1999. Love, Medicine and Miracles. Lessons Learned About Self Healing from a Surgeon’s Experience with Exceptional Patiens. Terjemahan: Hermaya, T. Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama

Chaplin, J. P. 1999. Kamus Lengkap Psikologi.  Jakarta :  Raja Grafindo Persada.

Dossey, L.M.D. 1997. Healing Words. Terjemahan Hermaya, T. Jakarta :  Gramedia Pustaka Utama

Eaton, C.L.G. 2002. Remembering God: Reflection on Islam (Dzikir Plus: Sebuah Renungan Spiritual). Terjemahan: Wirasubrata, B. Jakarta : Cendekia.

Frager, R. 1999. Heart, Self and Soul: The Sufi Psychology of Growth, Balance and Harmony. Wheaton USA: Theological Publishing House.

Gunawan, A.W. 2007. The Magic of Prayer and Forgiveness, Topline findings (Juli.2007) From: http://www.pembelajar.com/wmview.php?ArtID=795 &page=2

Gymnastiar, A. 2007 Menyadari Keterbatasan Diri, Topline findings (Juli.2007) From: http://www.cybermq.com/index.php?kolom/detail/2/321/kolom-321.html)

Hidayat, A. 2007.  Doa Sesudah Shalat, Topline findings (Juli.2007) From: http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&task=view&id=503&Itemid=30

Issa, A.  2000. Al-Junun: Mental Illness in The Islamic World. Madison Connecticut: International Universties Press, Inc.
Ismail. 2003. Intibah: Buku Panduan Perawatan Sumber Ilahiyah. Perlis Malaysia: Intibah.

Jackson, L.E. & Coursey, R.D. 1988. The Relationship of God Control and Internal Locus of Control to Intrinsic Religious Motivation Coping and Purpose in Life. Journal of the Scientific Study of Religion. 27. 399 – 410.

Khan, H I., 2000. Spiritual Dimensions of psychology. Terjemahan: Haryadi, A. Bandung: Pustaka Hidayah.

Mahoney, et al. 2003. Religion and the Sanctification Of Family Relationships. Review Of Religious Research Vol. 4413.

Toto Tasmara. 1999. Dimensi Doa dan Zikir. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa.

Walters, J.D. 2000. Affirmations for Self Healing. Terjemahan: Teguh, A.H. Jakarta: PT Elex Media Komputindo

Wilcox, L. 2003. Ilmu Jiwa berjumpa Tasawuf (sebuah upaya spiritualisasi psikologi). Terjemahan: Bagoesoka, IG. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta

Zohar, D. dan Marshal, I. 2000. SQ: Menfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan. Bandung : Mizan.






Ѱ Makalah ini disampaikan dalam Konggres API tahun 2007, di UNISSULA Semarang.

RUQYAH SYAR'I SEBAGAI PSIKOTERAPI INDIGENOUS











Id
:
2967

Judul
:
RUQYAH SYAR' I SEBAGAI PSIKOTERAPI INDIGENOUS (BERLANDASKAN KEARIFAN LOKAL)

Pengarang
:
R. Anggraini

Contributor
:

Kota Terbit
:
Yogyakarta

Penerbit
:
Himpunan Mahasiswa Pascasarjana UGM

Tahun Terbit
:
2008

Diskripsi Fisik
:
22 hlm.

Subyek
:
Psikoterapi indigenous, Kearifan lokal

Bidang
:
Agro

Publikasi
:
Prosiding Seminar / Lokakarya / Konferensi


Abstrak
:
Maraknya berbagaiterapi altematif yang menjanjikan problem solving secara "spektakuler", khususnya metode terapi Ruqyah dan
fenomena nyata larisnya terapi tersebut menunjukkan betapa besar penghargaan dan kepercayaan masyarakat terhadap model terapi ruqyah, tetapi tidak semua terapi ruqyah dilakukan dengan cara yang sarna, sehingga dikJurwatirkan berbagai penyimpangan terjadi dan dapat membahayakan masyarakat pengguna. Di sisi lain berkembangnya paradigma holistik dalam psikoterapi, menunjukkan teori dan praktek psikoterapi model Barat yang sekuler tidak dapat diimitasi dan diaplikasikan begitu saja pada masyarakat Indonesia yang beragam budaya dan 80 persen beragama Islam. Perlu dilakukan kajian ilmiah untuk menemukan dan sekaligus menghargai model terapi yang telah terpercaya dan diterima masyarakat, sehingga didapatkan suatu model terapi yang berlandaskan kearifan lokal dan nilai-nilai yang sesuai dan khas budaya Indonesia yang relijius. Penelitian ini dilakukan pada empat (4) tempat terapi ruqyah yang berada di Cibubur, Bekasi, dan Semarang. Pengumpulan data melalui studi kepustakaan, survey, obseroasi dan wawancara pada terapis (praktisi) Ruqyah, disertai dengan pemeriksaan psikologi pada 10 orang klien yang remaja dan dewasa. Metode penelitian dilakukan secaradeskriptifkualitatif, dan analisis psikologis.
Hasil penelitian menunjukkan ada dua macam Ruqyah yaitu syari\'ah dan syirkiyah. Terapi Ruqyah syari\'ah efektif untuk kasus-kasus
stres, psikosomatik, dan metafisik bagi pasien muslim dan hanya bisa dilakukan oleh terapis muslim yang kuat akidahnya. Dengan demikian
terapi Ruqyah dapat dikatakan sebagai satu model psikoterapi yang indigenous berparadigma holistik-islami. Penelitian selanjutnya
menghasilkan panduan teknis pelaksanaan dan etika terapi ruqyah, serta syarat untuk menjadi terapis.


Bahasa
:
Indonesia

Hak Cipta
:

File Upload
:




http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/2967_MU.12090007.pdf